Header Ads

Breaking News
recent

Legenda Desa Medono

Medono adalah nama salah satu Desa di Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo. Daerah dengan luas 6,26 Km² ini memiliki 4 dusun dengan nama yang unik. Nama nama dusun tersebut adalah Pencil, Pundung, Medono dan Domasan. Nama nama tersebut bukan tanpa sebab melekat pada daerah tersebut. Semua itu karena sejarah yang melatarbelakangi terjadinya Dusun tersebut.
Dusun yang pertama adalah Dusun Pencil. Dusun dengan jumlah penduduk terbanyak di Desa Medono ini konon dulunya adalah sebuah tempat yang sangat jauh letaknya dari pusat pemerintahan Desa. Sebelum menjadi pemukiman yang padat penduduk seperti sekarang ini, penduduk asli Dusun Pencil dulunya tinggal di sebuah tempat bernama Dukuh Karangan. Dukuh Karangan ini berasal dari kata Arang ( yang dalam bahasa Jawa artinya Jarang atau Sedikit Jumlahnya). Karena lama kelamaan di Daerah itu berdatangan penduduk dari luar daerah karena alasan pernikahan ataupun pekerjaan, maka semakin lama daerah itu semakin ramai. Karena daerah yang tidak memungkinkan untuk menampung jumlah penduduk yang membludak, maka para pendatang berinisiatif mencari tempat hunian baru. Kala itu, daerah yang masih sepi dan terpencil dipilih untuk dijadikan pemukiman. Alasan ini didasarkan pada tingkat pertumbuhan penduduknya yang pesat sehingga dikhawatirkan Dukuh Karangan tidak bisa menampung lagi.
Maka berbondong-bondong lah Penduduk Dukuh Karangan yang belum memiliki lahan menuju Daerah terpencil  tetapi luas tersebut, sehingga akhirnya daerah yang sepi itu pun menjadi ramai dan memikat banyak penduduk untuk bertempat tinggal di situ dan menetap. Itulah awal terjadinya nama Pencil untuk Dusun Pencil. Adapun nama Pencil itu disematkan merujuk pada awal muasalnya daerah itu dahulu adalah daerah yang sangat terpencil. Sedangkan Dukuh Karangan sekarang ini menjadi bagian dari Dusun Pencil karena secara tatanan Pemerintahan, Dukuh Karangan tidak bisa menjadi Dusun didasarkan pada jumlah penduduknya yang tidak memenuhi kuota untuk syarat menjadi sebuah Dusun. Nama dukuh Karangan sendiri diambil dari kata Arang (jarang) yang berarti bahwa Penduduk di daerah tersebut berjumlah sedikit. Sedangkan Dusun  Pencil sendiri terlepas dari filosofi Jawa bahwa Pencil itu berararti Mencil (mengucilkan diri) mengakibatkan Dusun Pencil menjadi Dusun yang paling sulit untuk dilalui dari semua Dusun di Desa Medono. Medannya yang sangat sulit dan jalanan yang curam menjadi alasan daerah ini masih menjadi PR atau pekerjaan Rumah bagi Pemerintah Desa untuk memajukan Dusun Pencil dari isolasi nama Mencil terrsebut.
Nama Dusun yang kedua adalah Dusun Pundung. Dusun ini terletak tak jauh dari Dusun Pencil. Jarak antara dua dusun ini hanya sekitar 25 meter dari perbatasan. Kedua dusun ini berbatasan langsung dan bersebelahan letaknya. Dari pusat pemerintahan Desa, kedua Dusun ini mempunyai satu arah untuk dua jalur yang masing masing menuju ke Dusun Pencil dan Dusun Pundung. Menurut Sesepuh Desa Medono, Dusun Pundung berdasar pada kebiasaan masyarakat di daerah itu pada waktu dulu. Masyarakat yang sebagian besar senang pergi marantau itu (bahkan hingga kini), senang sekali menumpuk kekayaan untuk membangun rumah ataupun untuk membeli lahan di Dusun. Dalam bahasa Jawa, senang menumpuk harta adalah mundung(menumpuk sesuatu). Tidak aneh kalau dari daerah itu lahir pola hidup yang mewah dan berlomba lomba untuk mengumpulkan harta sebanyak mungkin dari berbagai macam profesi yang ada. Bahkan ada lelucon yang mengatakan kalau ingin kaya, maka nikahilah orang dari Dusun Pundung. Tentu saja ini hanyalah sebuah lelucon, tapi benar atau tidaknya Wallahu Alam. Terlepas benar atau tidaknya guyonan yang sering dijabarkan dalam perbincangan ringan ini menjadi tolok ukur kehidupan warga Dusun Pundung yang memang paling rendah tingkat kemiskinannya dibanding tiga  Dusun lainnya di Dusun Medono.
Dan yang ketiga adalah Dusun Medono. Dusun yang saat ini menjadi pusat pemerintahan Desa Medono adalah sebuah Dusun dengan cerita unik dan nyata yang membuat nama Medono disematkan pada daerah ini. Dusun dengan aliran sungai terbesar kedua setelah sungai Serayu ini dinobatkan menjadi Dusun yang memiliki sejarah cerita paling dramatis setelah kejadian pada tahun 1945-1949.
Tertulis pada Prasasti Juang (1945-1949), di Desa Medono terdapat sebuah kelompok pejuang yang mempertahankan daerah Kesatuan Republik Indonesia dengan Landasan Hukum Pancasila-nya dari tangan tangan para perusuh yang hendak menegakkan Negara Islam dengan cara Apatis. Tersebut dalam Prasasti Juang bertanda Remaja Mastepe ini, terkuak cerita lama sejarah terbentuknya Desa Medono. Kala itu, semangat juang para pemuda di Negara RI begitu mendarah daging sampai ke pelosok negeri termasuk di daerah Dusun yang kala itu belum memiliki nama ( masih sering disebut daerah Karang Tengah karena letaknya yang berada di tengah diantara 4 Dusun dan masih terdapat bebatuan keras semacam karang di daerah sungai besar pada saat itu).
DI/TII atau yang merupakan singkatan dari Darul Islam/Tentara Islam Indonesia adalah sebuah gerakan yang dipimpin oleh SM Kartosuwiryo untuk mendirikan Negara Islam Indonesia [NII]. Pada kenyataannya Kartosuwiryo sempat berhasil mendirikan NII pada tanggal 7 Agustus 1949 di Jawa Barat.
Kartosuwiryo yang merupakan tokoh berpenhgalaman dalam bidang pemerintahan dan tata Negara ini sebagai pendiri NII benar-benar sudah mempersiapkan berdirinya NII. Jadi Jauh hari sebelum NII didirikan dia sudah memperisiapkan Undang-Undang Dasar NII terlebih dahulu. Dengan demikian berdirinya NII sudah lengkap secara administratif.dan tertata.
Tentara sebagai instrument keamanan Negara juga sudah dibentuk oleh Kartosuwiryo dengan TII-nya. Mayoritas dari mereka adalah laskar Hizbullah dan Sabilillah serta laskar-laskar tradisonal lainnya yang ada untuk merebut kemerdekaan dari Belanda yang tidak mau mundur dari sebagian wilayah Indonesia yang menjadi wilayah Belanda akibat perjanjian Renville. Mereka diberdayakan menjadi tentara oleh Kartosuwiryo.
Undang-undang asasi NII hampir sama dengan UUD 1945 kecuali pada hukum yang mengacu pada syariat Islam. Kesamaan itu sangat wajar mengingat Kartosuwiryo dulu adalah aktivis PSII [Partai Syarikat Islam Indonesia] yang berjuang berlakunya syariat Islam di Indonesia. Karena Konstituen tidak bisa menjadikan Islam sebagai dasar Negara Indonesia maka Kartosuwiryo keluar dan memperjuangkan Islam sebagai dasar Negara di luar parlemen. Itulah mengapa sebenarnya banyak pihak yang menyatakan bahwa jika Konstituen mengesahkan Islam sebagai dasar Negara, Kartosuwiryo tidak akan memberontak membentuk NII atau Negara Islam Indonesia. Akan tetapi terlepas dari itu semua, sebenarnya kemajemukan dari Negara republic Indonesia adalah yang paling utama harus diperhatikan mengingat tidak semua Orang Indonesia beragama Islam.
Lembaga-lembaga Negara NII, merujuk pada Undang-undang NII terdiri dari Majelis Syura, Dewan Syura, Imam, Dewan Imamah dan Dewan Fatwa. JIka dikomparasikan dengan lembaga Negara Indonesia saat ini Majelis Syura sama dengan MPR, Dewan Syura dengan DPR, Imam dengan Presiden, Dewan Imamah sama dengan kabinet dan Dewan Fatwa hamper sama dengan Dewan Pertimbangan Agung. Pasal-pasal dalam Undang-undang juga isinya hampir sama seperti misalnya bumi, air dan kekayaan alam yang bermanfaat bagi hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
Satu yang membedakan NII dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah pada pemberlakuan syariat Islam sebagai hukum negara. TII selaku tentara NII dihadapkan pada kondisi peperangan untuk mempertahankan NII dari pemerintahan resmi Indonesia yang menghendaki mereka ‘bertobat’. Kondisi perang itu membuat NII membagi masyarakat menjadi Muslim dan Kafir. Yang dimaksud muslim jelas para pengikut NII sementara kafir adalah orang-orang yang tidak setuju dengan NII. Itulah mengapa NII terus-terusan berkonfrontasi dengan tentara republik.
Karena sejarah panjang itu pula yang kemudian bergejolak menjadi mata pisau di lapisan masyaraklat bawah. Paham yang berbeda dan semangat juang yang tidak semestinya menjadikan DI/TII menjadi bumerang bagi rakyat Indonesia sendiri. Tetapi nasionalisme adalah harga mati yang tak bisa ditukar dengan apapun. Akidah tetap akidah akan tetapi membelot pada Negara yang berlandaskan Pancasila adalah pengkhianatan untuk Bangsa yang merdeka.
Maka begitu mendengar pasukan DI/TII akan melewati Dusun Panto (sebelah Desa Medono) dan Karang Tengah (pada waktu itu Medono belum ada) dari Jogja menuju Jawa Barat, sesegera mungkin pasukan atau tentara tradisional yang tergabung dalam Remaja Mastepe berangkat menghadang pasukan DI/TII di perbatasan. Pertempuran pun tak terelakkan lagi, antara kubu DI/TII dan Kubu Remaja Mastepe. Kemungkinan besar, apabila tidak ada perlawanan dari Remaja Mastepe kala itu, pastilah warga sekitar akan terkena dampak dari pemberontakan yang dilakukan DI/TII. Remaja Mastepe itu sendiri adalah gabungan dari para Pelajar Purwokerto dan tentara tradisional yang diutus secara khusus untuk menghadang DI/TII di Dusun panto.
Setelah pertempuran selesai dan Pasukan DI/TII berhasil diusir dari daerah Panto dan sekitarnya, rombongan Remaja Mastepe ini pun beristirahat dan mendirikan posko di karang tengah. Menilik daerah yang belum memiliki nama, akhirnya orang-orang ini pun melontarkan kalimat-kalimat pendek yang pada akhirnya menciptakan menjadi jargon dari Dusun Medono. Begini kurang lebih isi percakapannya;
‘ untung wae awake dewe iso ngusir DI/TII neng daerah liyan..’
“iyo..nadyan sithik pasukan lan perlawanan-e..rada med med tapi ono hasil-e..ono perlawanane.’ .  
Yang kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kurang lebih adalah;
“untung saja kita bisa mengusir DI/TIIke daerah lain”
“iya..walaupun pasukan kita Cuma sedikit dan perlawanannya lumayan hangat tapi ada hasilnya..ada perlawanannya.”.
Mengacu pada kata med med (lumayan greget, lumayan hangat) tapi ono (ada) akhirnya menjadi sebuah kata yang disambung dan menjadi pendek dalam pengucapan lidah orang Jawa. Kata med med tapi ono itupun akhirnya disambungkan menjadi Medono. dusun yang tadinya sering dijuluki Karang tengah itupun mulai dikenal orang dengan sebutan Dusun Medono.
 Itulah sekelumit cerita yang mengawali lahirnya Desa Medono mengacu pada Prasasti Semangat Juang yang tertera di dinding Balai Pertemuan Desa Medono. prasasti itu sendiri dibuat pada tahun 1981 oleh para anak cucu anggota Remaja Mastepe ketika napak Tilas pengorbanan Ayah dan kakek mereka dalam membela Negara Kesatuan Republik Indonesia di Desa Medono.
Dan yang terakhir adalah Dusun Domasan. Konon, daerah Domasan adalah daerah pegunungan yang mempunyai hutan sangat lebat dan tidak bernama. Daerah itu tidak berpenghuni. Kalaupun ada, hanya sedikit orang yang bertempat tinggal di daerah pinggir hutan itu. Tempat tinggal yang jauh dari pusat pemerintahan di waktu itu dan medan yang sangat sulit membuat penduduk daerah hutan malas untuk pergi jauh dari tempat tinggalnya dan jarang bersosialisasi dengan daerah lain.
Suatu ketika, ada seorang penduduk dari daerah lain pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar. Penduduk tersebut tidak mengetahui kalau ternyata di sekitar hutan tersebut ditempati oleh beberapa orang yang memang tidak suka bepergian sehingga tidak ada yang tahu keberadaannya. Pria yang mencari kayu bakar itupun dengan santainya memunguti kayu dan dahan kering di area sekitar hutan. Ketika sedang serius mengikat kumpulan kayu di hadapannya, tiba tiba dia melihat sekelebat bayangan yang berlari. Karena penasaran, pria itupun mengikuti bayangan yang tadi ada di belakangnya. Sampai akhirnya pria itu sampai di pinggiran hutan dan tempat itu terlihat asing untuknya karena belum pernah dilihatnya ada pemukiman kecil di pinggiran hutan. Setelah mencari-cari, akhirnya dia bertemu dengan perempuan yang wajahnya cantik dan dandanannya mirip pengiring pengantin. Pria itupun bertanya tentang pemukiman dan tempat itu serta siapa orang yang tadi berlari di dalam hutan. Akhirnya wanita itupun menjelaskan bahwa dirinyalah yang tadi di hutan.
Setelah kejadian itu, akhirnya terbukalah rahasia yang ada di balik hutan nan lebat yang selama ini belum pernah diketahui oleh masyarakat luas. Dan karena sosok wanita yang cantik mirip Dumas (dalam acara pernikahan Jawa, pengiring pengantin wanita disebut sebagai Dumas), maka daerah itupun disebut Dumasan. Karena lidah Jawa, maka penyebutan kata Dumasan bergeser menjadi Domasan dan terkenal hingga sekarang. Karena dasar keturunan yang cantik itupun, wanita wanita dari daerah Domasan dikenal cantik cantik dan luwes mirip Dumas.
Demikian sekelumit cerita legenda yang ada di Desa Medono. benar dan tidaknya cerita tersebut hanya para pendahulu kita yang tahu. Tetapi yang pasti, untuk melestarikan budaya bangsa, legenda desa adalah salah satu warisan budaya yang tidak bisa diabaikan keberadaannya dan wajib untuk dilestarikan demi kelanjutan pilmu pengetahuan anak cucu kita sehingga tidak tergerus oleh kemajuan zaman dan derasnya arus globalisasi yang mau tidak mau berpengaruh juga pada pola pikir dan budaya baru sehingga melenakan kaum muda di Negara ini.

1 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.