KETIKA RASA ITU DATANG…..
Aku masih menunggu
pesananku datang ketika seorang laki-laki menghampiri mejaku.
“Boleh duduk disini?” sapanya ramah. Aku mendongak dan
sejenak terpana melihatnya. Kupandangi wajahnya yang masih sama seperti 8 tahun
yang lalu…lalu begitu sadar apa yang aku lalukan tidak pantas, gugup
kuanggukkan kepalaku. Pura-pura tak ingat.
“Masih ingat aku?’ tanyanya. Suara itu,,,suara yang dulu
pernah aku tergoda dan merindukannya. Kusipitkan mataku pura pura mengingat. Ku
gariskan sedikit senyum dan mengangguk
“Rayhan ?!” ku sebutkan namanya, bertingkah seolah baru
kaget dan terkejut menyadari dia adalah Rayhan. Dia mengangguk dan tersenyum
sopan.
“ Aku nggak nyangka kita bisa ketemu lagi “ . Ya..aku
juga tak menyangka akan bertemu lagi dengannya setelah pesta perpisahan waktu
itu. Masa ketika aku masih jadi orang yang spesial untuknya. Tiba tiba aku
ingin tersenyum geli, aku bahkan sudah hampir melupakannya. Itu sudah 8 tahun
yang lalu. 8 tahun…waktu yang cukup lama untuk membuatku melupakannya.
“ Kerja dimana sekarang?” tanyanya, aku menggeleng lemah.
“ Aku udah nggak kerja?” jawabku enteng, rayhan
mengernyitkan kening.
“ Kenapa?”
“Suamiku tak mengizinkan”. Suaraku mengambang seperti
tergantung oleh kenangan 8 tahun yang lalu. Satu persatu bayangan sahabat-sahabatku
muncul, hingga bayangan Rayhan kembali menyeruak masuk dan mengaburkan
semuanya. Seorang Waiter datang membawa minuman pesananku, basa-basi kutawari
Rayhan minum tapi ia menolak.
“ Berapa anakmu sekarang?’ pertanyaan Rayhan menghentakku
pelan. Suaranya juga terdengar menggantung. Aku menoleh
“2.. Yang satu umur 5 tahun, yang terakhir baru 1 tahun.”
Jawabku ragu. Aku ragu antara bercerita banyak tentang keluargaku atau hanya
menutup pertanyaan rayhan sampai sini saja tentang anakku.
“ Kau sudah bahagia rupanya…”. Aku tersenyum, entah
perasaan apa yang merayapi hatiku saat itu. Ada semacam perasaan bersalah yang
menguasai hatiku. Kenapa? Entahlah…ini tidak ada kaitannya karena diantara kami
memang tidak pernah ada hubungan apapun. Aku hanyalah teman dekatnya, yahh…teman
dekat yang pernah berharap bisa menjadi lebih dari sekedar teman dekat. Kami
bekerja pada perusahaan yang sama. Dari daerah yang sama dan sama-sama orang
perantauan, jadi wajar kalau ketika bertemu di tanah rantau kami menjadi dekat.
Setiap ada masalah, aku lari ke Rayhan dan curhat padanya. Dia pun begitu,
meskipun tidak sama persis, tapi kami nyaman berada di zona iti. Zona yang
tidak perlu sebuah status, zona dimana aku tidak harus menjadi orang lain, zona
yang membuatku tak pernah didatangi teman pria lain karena mereka menganggapku
kekasihnya Rayhan. Padahal kami bukan sepasang kekasih, kami hanya berteman. Teman
yang dulu pernah kuharap lebih. Tapi itu dulu…saat usiaku belum genap 20 tahun.
Sekarang usiaku 28 tahun, sebentar lagi 30 tahun. Kenapa perasaanku seolah-olah
sama seperti dulu?. Hatiku seperti kembali remaja, padahal jelas-jelas garis
garis keriput mulai mengusik wajahku yang juga termakan usia.
Rayhan masih diam, mungkin dia ragu meneruskan obrolan
ini. Wajahnya tampak masih sama seperti dulu. Akan tampak aneh kalau aku terus
yang selalu bertanya, karenanya kubiarkan Rayhan untuk bicara. Sedangkan untuk
mengalihkan rasa kaku yang sedari tadi menghinggapiku, aku memainkan ponsel
yang sedari tadi kupegang.
---------------------------------------------------------------------------------------
“Kamu sudah bahagia rupanya”. Aku tersenyum, entah
perasaan apa yang merayapi hatiku saat ini, ada semacam perasaan bersalah yang
tiba-tiba menyeruak dan menguasai hati. Kenapa??
“ Kamu sendiri? Berapa anakmu sekarang?” kualihkan
pembicaraan supaya ia mau bercerita tentang kehidupannya. Rayhan tersenyum
tipis
“Anakku baru satu.” Jawabnya. Kami sama-sama tersenyum.
Ada kerikuhan yang membuat kami sama-sama terdiam.
“Nikah sama orang mana? Maksudku…sama siapa?”
“ Andini…masih ingat dia?”. Tentu saja aku ingat…aku
ingat nama itu. Aku ingat nama yang sudah membuat aku patah hati. Nama yanmg
akhirnya membuat aku harus pergi dari sisi seorang Rayhan. Meskipun tidak
mengenalnya, tapi aku tak suka mendengar namanya disebut. Tapi…akkhh, bukankah
itu dulu? Kenapa sekarang perasaan itu seperti baru saja terjadi kemarin hingga
rasanya sesak di dadaku. Membuat aku semakin bingung menghadapi Rayhan kini.
“Oww…Andini,,masih ingat lah. Dia cewek yang pernah kamu
certain itu kan? Cewek yang kata kamu sederhana tapi mengesankan itu? Hha…” aku
mencoba mencairkan suasana dengan tertawa. Agak aneh di telingaku mendengar
tertawaku sendiri, seakan tawa itu bergemuruh berbalik menertawakanku. Rayhan
tampak tersipu mendengar omonganku
“ Bisa aja kamu…masih sama kaya dulu, suka
melebih-lebihkan hhe”. Lalu kami sama-sama tertawa mengingat masa lalu. Tanpa
disadari, kami pun seolah lupa siapa kami sekarang. Aku dan Rayhan tenggelam pada
masa lalu, masa dimana kami dulu sering bersama dan mengenangnya adalah saat
yang indah. Hingga…BRrrr. Ponsel yang sedari tadi di atas meja diam, kini
bergetar. Suamiku menelephone. Seketika aku seperti terbangun. Aku lupa kalau
aku janji dengannya untuk menonton pertunjukan tari di sekolah si Mba (sebutan
untuk anak pertamaku di rumah). Ragu dan agak rikuh aku mengangkat ponsel dan
menjauh darinya. Seperti maling yang ketahuan mencuri, aku gelagapan ketika
suamiku nanya aku sedang dimana dan mau dijemput dimana. Tap untungnya suamiku
bukan orang yang suka curiga, dia hanya bertanya seperlunya lalu kembali
meneruskan pekerjaannya dan akan menjemputku 1 jam lagi. Pelan aku kembali ke
meja dimana Rayhan masih dusuk disana menungguku.
“Dari suamimu?” aku mengangguk, mencoba untuk tersenyum
tapi agaknya itu aneh dimata Rayhan hingga dia tertawa
“kenapa ketawa?”
“Gimana ga tertawa, liat tuh muka kamu kaya maling yang
ketahuan mau nyuri…hhe. Milla, aku ini lama bareng ma kamu meskipun yahhh
sebagai teman jadi aku tau kamu itu kalau lagi panik kaya apa. Santai aja kali
Mill, kita kan ga sedang selingkuh. Suami kamu juga ga bakal marah kok” .
Degg!! Dia seperti tahu semua isi pikiranku. Dan aku khawatir, jangan jangan
dia juga tahu kalau aku sedang sangat senang bisa bertemu lagi dengannya. Aku
kembali tertawa meskipun kali ini agak dipaksakan. Rayhan benar, aku tidak
sedang selingkuh kan? Aku hanya bertemu dengan teman lama dan lalu berbincang
dengannya. Tak lebih…ya…tak lebih.
‘Suamimu bilang apa? Kamu disuruh pulang?” . Aku
mengangguk
“ Iya,,,kami janji mau nonton pertunjukan tarinya si
Mba..umm maksudku anak pertama kami. Kami biasa memanggilnya begitu hhe”
“ oww gitu..ya udah. Aku juga ada acara, tadi makanya
kesini karena liat kamu. Seperti ada yang narik ke restaurant ini hhe…” aku
tersipu. Kata-kata Rayhan masih seperti dulu, memercikkan butir butir
pengharapan. Aku mengemasi buku yang tadi kuletakkan begitu saja di atas meja.
Rayhan berdiri
“ aku pergi dulu Mill….” . pergi?? Aku tergagap dan ikut
berdiri
“ ahh..iya, aku juga harus pergi” kataku
“ sampai ketemu lagi”
“ Ya…sampai ketemu lagi. Umm…entah kapan he he”. Rayhan
menatapku sebentar. Aku menunduk. Aku tahu apa arti tatapan itu, dan rasa
bersalah ini makin kuat menyeruak.
“ A
kan sama lagi ceritanya
seperti dulu? “ tanyanya dingin.
‘ Maksudnya?”
“ Yahh…mungkin 8 tahun lagi kita akan bertemu, atau
mungkin lebih lama lagi.”
“ Akan semakin lama semakin baik Ray…he he. Ayo lah…kita
sama-sama tahu apa yang terbaik buat kita”.
“ Semakin baik ya?? . Oke…sampai jumpa Milla. Sampaikan salamku
pada suamimu”. Aku mengangguk. Berat rasanya untuk membiarkan dia pergi. Entah perasaan
apa ini.
“ Dan…” Rayhan berbalik. Aku seperti tersentak menatapnya
berbalik lagi. “ kalau suatu saat kita ketemu lagi, aku harap kamu tidak pura
pura lupa denganku. 8 tahun itu waktu yang cukup lama untuk bertemu lagi Mill”.
Ya…terlalu lama juga untuk menunggu ungkapan perasaan yang sempat aku harapkan
dari kamu Ray..
“ Aku ga ngerti maksud kamu apa Ray…”
“ Bukan aku yang meninggalkanmu, tapi kamu….selama 8
tahun ga ada kabar apapun. Kamu pergi begitu saja, meninggalkan aku dan Andini.
Bukankah kata kamu kita ini teman?”. Dan akhirnya hanya diam yang menjadi
jawabanku. Aku sungguh tidak punya jawaban apapun untuk pertanyaan yang Ray
ajukan. Tapi mungkin saja dia sebenarnya tahu jawabannya. Aku ingin sekali
mengatakan padanya bahwa Andini yang salah. Andini yang sudah merebut perhatian
Ray dariku, Andini yang sudah mengambil hari ray dariku, dan setumpuk kesalahan
yang Andini buat karena dia datang di kehidupan kami berdua. Tapi…apakah itu
benar? Andini hanya sebuah jawaban atas doa Ray yang selama ini diucapkannya. Dan
Dia? Aku? Milla…bukankah kamu ini hanya teman Rayhan? Tidak lebih…TIDAK LEBIH
DARI SEORANG TEMAN. Ungkapan yang seperti menamparku ini menyadarkanku dari
angan angan yang tidak semestinya aku miliki.
“Maafkan aku…banyak hal yang tidak bisa aku jelasin Ray”
“Ya..aku tahu. Karena Suamimu itu kan? Karena kamu begitu
ingin segera pergi menemuinya hingga lupa berpamitan padaku dan juga Andini”.
Bukan Ray..Bukan itu alasanku pergi. Aku pergi karena aku tak kuat harus
berpisah dan melihatmu menikah dengan Andini di depan mataku. Selama ini aku
selalu melihatmu dari jauh. Mendoakan kebahagiaanmu bersamanya, dan…Dan
seonggok hati yang telah mati ini terlalu lama merasa lelah menunggu hingga
akhirnya mas Hilmi datang dalam kehidupanku. Sesungguhnya nama itu belum
sepenuhnya hilang dari ingatanku meski aku mencintai mas Hilmi. Mas Hilmi sosok
suami yang sangat baik untukku dan figure ayah yang sempurna untuk anak-anakku,
tapi kamu Ray….karena kamu adalah orang yang pernah menjadi bagian doa di tiap
malamku dulu. Tidak semudah itu buatku Ray..dan sayangnya sekarang terlarang
bagiku untuk bisa mengatakan ini padamu.
----------------------------------------------------------------------------------------
“ kamu baik baik aja kan Mill? “ aku mengangguk.
“
Hanya sedikit capai Mas..”Mas Hilmi membawakan belanjaanku menuju mobil. Perlahan
kutinggalkan restaurant yang baru saja menjadi saksi pertemuanku dengan Rayhan.
Biarlah ini akan menjadi cerita antara aku dan Rayhan saja.
“
kalau ga enak badan, kita ke dokter aja dulu. Wajah kamu keliatan ga ceria gitu
hhe”
“
Ga kok Mas…semua baik baik aja. Aku hanya kecapaian.”
“
Beneran?”
“
Heem..ga apa apa, kita langsung ke sekolahnya Mba aja…’. Dan mobil kami pun
melaju di jalan raya. Rayhan dan mas Hilmi. Dua laki laki itu adalah pria yang
istimewa. Tapi yang satu hanya masa lalu dan yang satunya lagi adalah hidupku
dan masa depanku. Aku bahagia bersamanya…Mungkin, yahh mungkin perasaanku
barusan adalah sebuah imajinasi yang selama ini terlalu lama terpendam hingga
aku lupa dimana aku berdiri. Tapi melihat mas Hilmi serius menyetir, membuatku
merasa nyaman. Perlahan kudandarkan kepalaku di bahunya. Mas Hulmi menoleh
sebentar
“Kenapa? “ tanyanya lembut
‘ Ga apa…Cuma pingin aja. Hhe…”
“Bener ga apa?”
“ heem…”. Mas Hilmi…dia terlalu baik
untuk dikhianati, bahkan di dalam khayalan sekalipun. Aku membenarkan posisiku
duduk dan mulai menata hati. Apapun yang terjadi, aku akan cerita kalau tadi
aku ketemu Rayhan di restaurant.
“Mas…tadi…”
“
Kamu ketemu Rayhan kan?” aku kaget, tak menyangka mas Hilmi tahu
“
Kok Mas tau?”. Mas Hilmi tersenyum
“
Aku tau kok…sudah dari sejam yang lalu aku diluar. Melihatmu bicara dengan
Rayhan. Tidak apa apa…semua punya masa lalu Mill. Aku pun begitu. Hanya saja
Mas minta perasaan itu jangan sampai merusak apa yang ada sekarang di kehidupan
kita. Mas percaya kamu paham maksud Mas…”. Aku terdiam dan menunduk. Hanya itu
saja?? TIDAK. Ini lebih dari apa yang aku bayangkan.
“
Terima kasih Mas Hilmi…” ucapku tertahan. Mas Hilmi tak menjawab. Dia hanya
menggenggam tanganku dengan satu tangan sementara tangan yang satu focus menyetir.
‘Semua
akan berjalan sesuai takdirnya Milla…begitupun aku dan kamu.”.
"THE END "
Dah oke bu....lbh bagus cerpen yg sekarang d banding sebelumnya.
BalasHapusGood luck👍👍👍....
Moga k depan lbh berkarakter,& ditunggu cerpen berikutnya
Dah oke bu....lbh bagus cerpen yg sekarang d banding sebelumnya.
BalasHapusGood luck👍👍👍....
Moga k depan lbh berkarakter,& ditunggu cerpen berikutnya
AMIIIN...MAKSIH BU SULIST HHE
BalasHapus