Header Ads

Breaking News
recent

Kepergianku


            “ Maaf, mencari siapa?” sapa wanita berkerudung biru itu ramah. Sejenak aku tak mampu berkata-kata, apalagi ketika kuperhatikan ternyata wanita itu sedang mengandung. Usia tua mungkin, karena perutnya kelihatan membesar.
            “Mbak…?’ . aku tergagap, cepat-cepat aku tersenyum menyembunyikan rasa penasaranku.
            “Eh..iya, maaf. Saya mencari Ardi. Dia masih tinggal disini?”. Wanita itu tersenyum, dia membuka daun pintu lebih lebar.
            “Iya benar..dia suami saya. Silahkan masuk, sebentar saya panggilkan.”.aku pun memasuki rumah dengan perasaan tak menentu. Antara ragu, lega dan entah perasaan apalagi yang bercampur jadi satu . aku belum sempat duduk ketika kulihat dia berbalik lagi dengan tergesa.
            “Maaf, lupa. Nama mbak ini siapa ya?”
            “Ena…” jawabku pelan.

*****
Hanya sekejap aku menatap Ardi dengan penuh kerinduan, karena dilain kejap, sosok wanita anggu yang tadi mempersilahkanku masuk melintas di kepalaku dan menindas perasaan rindu yang tak pantas lagi aku miliki. Dan kulihat Ardi pun sama sepertiku. Aku tak tahu apa yang tengah dirasakannya, tapi yang jelas dia tampak shock melihatku. Bahkan untuk sekedar menyapaku pun dia tak bisa. Hanya lamat-lamat akhirnya dia bersuara lirih memanggil namaku.
            “ Ena…”

*****
            “Aku bisa memastikan kalau hidupmu bahagia sekarang” kataku memecah keheningan. Sesaat Ardi tertegun mendengar ucapanku. “Didampingi istri yang cantik dan baik hati seperti Sarah. Dan ketika kudengar kamu kembali ke rumah ini, aku sempat tidak percaya. Karena yang aku tahu kamu tinggal di luar negeri.”.  Masih tanpa suara, Ardi menatapku. Perlahan dia kembali menunduk.
            “ Maafkan aku..”  Katanya parau. Aku tersenyum meskipun rasanya aneh merasakan desiran yang mulai merambati hatiku.
            “Maaf untuk apa?”. Ardi terdiam. Dan dia memang tak perlu menjelaskan posisinya. Ak cukup tahu itu. “Ini sudah takdir. Jangan merasa bersalah seperti itu, aku jadi tak enak” kataku kemudian. Walaupun kalimat yang aku ucapkan meluncur ringan, rasanya dadaku sesak mendapati kenyataan kalau Ardi sudah bukan Ardi yang dulu. Ardi yang sekarang, adalah Ardi yang sudah mempunyai seorang istri dan sebentar lagi akan menjadi seorang ayah.. setidaknya, perasaan cinta sudah tak ada lagi dihatinya untukku. Jadi memang sudah sepantasnya aku berbicara seperti itu.
            Untuk menghilangkan kekakuan yang ada, aku mengalihkan tatapanku ke lukisan yang terpampang di ruang tamu itu. Lukisan buatan tangan Ardi yang dulu pernah dia kagumi keindahannya. Tanpa sadar aku tersenyum melihatnya.
            “Kenapa  ?” . Aku menoleh
            “Apanya?” tanyaku balik
            “Senyuman tadi…”
            “Aku ..hanya ingat kejadian pas kamu menunjukkkan lukisan ini padaku dulu. Lima tahun yang lalu “. Ekspresi wajah Ardi makin aneh kulihat ketika aku selesaikan ucapanku. Dan sejurus kemudian, kudengar isakan tangis Ardi mulai terdengar. Tangisan itu, kalau Ardi tahu…sebenarnya telah merober-robek hatiku.

*****
            “Bukankah harusnya dari awal kamu bilang kalau keluargamu tidak setuju?” protesku ketika Ardi datang menemuiku dan pamit untuk berangkat ke luar negeri. Dan awal mula perpisahan itu dimulai sejak hari itu, Lima tahun yang lalu….
            “ Aku sudah bersaha..” kata Ardi lirih.
            “Dan akhirnya harus kaya’ gini?”
            “Terpaksa Na…Aku tidak mungkin melawan orang tuaku. Hanya ini cara satu-satunya agar kita bisa tetap berhubungan tanpa menyakiti kedua orang tuaku.” . Aku hanya bisa menangis mendapati kenyataan bahwa Ardi harus pergi untuk waktu yang tidak jelas.
            “Kalau orang tua kamu tetap tidak setuju bagimana?tidak pernahkah terpikir olehmu suatu saat kamu yang akan kalah dan meninggalkanku lalu menikahi Sarah?. Kamu tahu sendiri permusuhan kedua orang tua kita..mereka punya bnyak alasan untuk tidak merestui hubungan ini. Sama seperti orang tuamu, mekipun ayah dan ibuku tidak melarangku menjalin hubungan dengan siapapun, tetap saja akan membuat keadaan kita bertambah sulit. Tidakkah kamu pernah berpikir sampai sejah itu?”
            “Aku tidak tahu Na…sungguh tidak tahu dan tidak ingin berangan-angan terlalu jauh untuk hal yang lebih menakutkan dari perpisahan kita ini.”
            “sesungguhnya, ini hanya permulaan dari semua penolakan yang orang tua kamu harapkan…aku pun tidak bisa mempertahankan lagi kalau memang itu keputusanmu.”
            “Sampai saat ini, hanya itu pilihan yang bisa aku pilih dan paling masuk akal untuk menolak pernikahanku dengan Sarah.”
            “Kamu bahkan belum pernah bertemu dengannya, kenapa yakin sekali bakal menolak menikah dengan di?” agak ketus aku mengucapkan kalimat itu. Rasa cemburu yang sejak dulu selalu bisa aku tahan karena percaya penuh pada pendirian Ardi, perlahan mulai goyah. Tidak,..bukan mulai goyah tapi lebih karena aku mulai putus asa setelah semua perjuangan kami mencari restu dari orang tua Ardi.
            “Jangan berpikiran yang macam-macam, kalau aku tidak serius denganmu, sudah dari dulu aku mau dijodohkan dengan Sarah”. Dan percakapan kami terhenti sampai disitu, karena tak lama setelah itu, handphone milik Ardi berbunyi. Rupanya ada sms dan kulihat ekspresi wajahnya agak berubah setelah membaca sms di handphonenya Ardipun segera pamit dengan sebuah janji bahwa dia akan segera mengabariku sesegera mugkin. Dan…hanya sampai itu saja kenangan yang tetap aku ingat sampai saat ini, sampai saat aku kembali menemui Ardi dan sekarang berbicara kembali dengannya. Hanya saja, keadaannya sudah tidak sama. Kedatanganku bukan untuk menagih apa yang pernah Ardi janjikan, kedatanganku hanya untuk meyakinkan bahwa aku memang harus benar-benar pergi dari kehidupan Ardi, atau Ardi benar-benar harus aku hilangkan dari pikiranku.

*****

            “Kenapa semua suratku tidak pernah kamu balas?”. Aku mendongak, menatapnya heran.
            “Surat?  Sejak kapan kamu mengirimiku surat? Bahkan nomor handphone-mu pun tidak lagi aktif setelah kejadian itu..”. kulihat Ardi terkejut mendengar perkataanku.
            “ Aku selalu kirim surat untuk kamu. Perlu kamu tahu Na, aku…”
            “Aku juga pernah kirim kabar lewat adikmu kalau aku pindah rumah setahun setelah kepergianmu. Aku ikut Budhe-ku di Jogja” kataku melanjutkan ucapan Ardi yang terasa berat. Ardi menatapku. Ada banyak sekali cerita yang bisa aku lihat dari tatapan itu. Tentu saja aku bisa merangkai alur peristiwa apa yang Ardi alami setelah kami berpiah, karena ada banyak kesamaan yang kami rasakan. Hanya perbedaannya adalah cerita Ardi terhenti di pernikahannya denga Sarah, sedangkan aku belum tahu apa yang akan aku lakukan dengan akhir kisahku nanti.
            “Tiap bulan aku krim kabar ke kamu. Entah itu lewat email, surat ataupun melacak dimana kamu tinggal. Aku juga tanya kabar tentang kamu dari adik, tapi tetap saja tak ada kabar yang bisa memuaskan aku. Aku hanya tahu kamu pindah, tapi adikku tidak tahu kamu pindah kemana. Mungkin ayah yang melarangnya.” Ardi melanjutkan ceritanya begitu tahu aku hanya diam mendengar ceritanya. Ardi benar, aku memang menyampaikan suratku ke Meta, adiknya. Tapi aku juga tidak menyalahkan Meta yang masih tinggal bersama dengan orang tuanya. Banyak kemungkunan yang bisa terjadi kalau sampai surat yang aku titipkan tidak sampai ke tangan Ardi ataupun sempat dibaca oleh Meta untuk kemudian disampaikan ke Ardi.
            “Sekali lagi maafkan aku Na….” ucap Ardi serak. Dan perlahan kudengarisak Ardi mulai terdengar lagi di ruang tamu yang terasa sangat dingin itu.
            “Jangan menagis Di…aku tidak ingin dating kesini untuk melihatmumenangis. Demi Allah aku bahagia dan lega sekarang melihat kehidupanmu yang sekarang. Sarah wanita yang baik, dan aku tidak membenci kalian berdua. Aku sangat lega bisa melihat kamu mendapatkan wanita yang tepat untuk mendampingi kamu. Kalau kamu menangis begitu dan Sarah tahu..dikira aku dating kesini hanya untuk membuat kegaduhan>”kataku seraya tersenyum dan berusaha mencairkan suasana.
            “Tidak Na…aku tidak menangisi keadaan kita yang sekarang ini, aku hanya kecewa pada diriku sendiri betapa bodohnya aku telah menyerah pada keadaan dan ..dan sampai sekarang aku masih mencintaimu. Aku memang menyayangi Sarah, sebagai seorang istri dia cukup membuatku nyaman, tapi rasa cintaku ke kamu tidak pernah berubah dan terganti. Sulit bagiku untuk melupakan begitu saja kenangan kita. Maafkan aku yang tak bisa menghapus rasa ini dari kehidupanku. Andai bisa aku memilih, aku ingin sekali kembali ke masa lalu dan tak akan pernah meninggalkanmu.”
            “Dan kamu pun tahu itu tidak mungkin Di…..”potongku cepat. Ada rasa sakit yang terasa sampai ke ujung kakiku mendengar ucapan Ardi. Aku menyayangi Sarah..tidakkah itu cukup untuk bukti bahwa aku memang telah kalah dengannya? Bahkan aku telah kalah ketika tahu Ardi sudah menikah. Sunnguh, aku telah kalah dalam semua hal tentang Ardi. Dan mestinya aku tahu hal ini akan menyakitiku kalau sampai aku datang ke rumah Ardi. Tetapi sisi hatiku yang lain, yang tidak memihak pada emosional saja mengatakan bahwa aku sudah melakukan hal yang benar, karena setidaknya aku tak lagi berharap. Harapan palsu yang hanya menghambat laju kehidupanku, dan membuat aku menutup semua kemungkinan untuk berpindah ke hati yang lain. Dan….entahlah. makin lama aku berada di rumah Ardi, perasaanku kian sesak dan aku semakin takut perasaan itu menutup sisi hatiku yang lain, yang masih waras aku rasa.
            “Aku kesini tidak mau berharap ataupun melakukan hal-hal yang akan merugikan kita. Aku hanya ingin memperjelas semuanya, hingga aku menjadi yakin bahwa selama ini bayanganku salah an harapanku sudah harus berhenti sampai disini.” Sebentar kulihat Ardi menatapku, lalu kembali menunduk. “Tidak Di….jangan begitu, aku tidak menyalahkanmu ataupun membencimu. Ini hanya masalah dalam hatiku saja. Sama sepertimu. Mungkin aku juga bisa segera melupakan semuanya. Kalau aku ada di posisi kamu pun, mungkin aku akan melakukan hal yang sama.”
            “Bagaimana caraku menebus semua kesalahanku Na…?” Aku tertawa mendengar Ardi bicara begitu.
            “Tidak usah berpikir ataupun mengkhawatirkan aku sedemikian rupa Di…aku baik- baik saja dan hidupku akan selalu baik-baik saja. Tidak ada kesalahan yang perlu kamu tebus.”


*****

            Lama kami terdiam, minuman yang Sarah bawakan ke hadapanku sudah aku habiskan. Sangat pahit meneguknya, bagai obat yang harus aku telan. Mungkin saja rasanya manis, tapi mulutku mengecap rasa pahit dari gelas itu. Tentu ini hanya perasaanku saja. Aku lalu berdiri, Ardi juga ikut berdiri.
            “Sekalian aku mau pamit Di..”
            “Kapan-kapan mainlah kesini…sebenarnya Sarah sering menanyakanmu.” Aku tersenyum
            “Semoga kamu tidak menceritakan kejelekanku padanya.”. untuk pertama kalinya, kulihat Ardi tersenyum. Meski sebuah senyuman kecut kulihat.
            “Tidaklah..aku cerita tentang semua kebaikanmu.”
            “Semoga juga Sarah tidak membenciku karena pernah ada di kehidupanmu dulu.”
            “Tidak…dia tidak membencimu.’
            “Syukurlah…sampaikan pamitku ke Sarah. Sampaikan juga maafku kalau kedatanganku agak mengganggunya.
            “Iya…akan aku sampaikan.” Aku berbalik arah, dan tanpa menoleh lagi aku bergegas pergi. Ardi memanggilku, mngkin ingin mengatakan sesuatu, atau mungkin kepergianku terlalu cepat. Tapi tak kupedulikan panggilannya. Kini aku tak bisa lagi menyembuyikan air mataku. Pak Parno yang mengantarku, segera membukakan pintu mobil dan aku pun segera masuk mobil.
            “Cepat jalan pak…langsung ke bandara saja.” Dan mobilku melesat dari hadapan rumah Ardi. Dari balik kaca, masih sepat kulihat Ardi dibimbing Sarah memasuki rumah. Aku menangis…Hanya itu jawaban atas semuanya.

TAMAT

1 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.